Faktor-faktor geopolitik akan mempengaruhi suatu
negara dalam menyusun sistem keamanannya. Sebagai negara kepulauan, Indonesia
memiliki karakteristik geopolitik yang khas, yaitu membentang luas dan letak
geografis yang strategis dari Sabang sampai Merauke. Kondisi tersebut
menyebabkan Indonesia membutuhkan kendali yang kuat untuk menjaga keamanan,
keutuhan, dan kedaulatan wilayah NKRI, termasuk melindungi wilayah-wilayah
kunci seperti Papua sebagai provinsi paling timur. Pulau Papua pun memiliki
nilai strategis yang sangat tinggi bagi geopolitik Indonesia akibat faktor
geografis dan faktor ketersediaan sumber daya alam yang terkandung di dalamya.
Hal tersebut disebabkan posisi strategis Papua yang berbatasan dengan
negara-negara yang menjadi kekuatan ekonomi potensial mulai dari Filipina di
sebelah utara, yang merembet ke Hong Kong, Taiwan, Jepang, hingga kepulauan
Pasifik dan Benua Amerika di sebelah timur dan di selatan berhadapan dengan
Timor Leste dan Australia. Selain itu Papua kaya akan keanekaragaman hayati.
Tanah yang subur di iklim tropis dan hujan turun di hampir di sepanjang musim
merupakan faktor agroklimat yang sangat cocok untuk pengembangan berbagai
komoditas tanaman industri, baik kehutanan, hortikultura, maupun untuk tanaman
pangan. Kekayaan sumber daya mineral dan energi sudah menjadi pengetahuan umum.
Besi, tembaga, emas, batu bara, minyak bumi, sampai gas alam adalah kekayaan
alam yang bisa menyokong infrastruktur. Perkembangan dunia menyebabkan semakin
tingginya persaingan antarnegara dan institusi dalam memperebutkan
sumber-sumber ekonomi bagi kemakmuran. Konsekuensi logis dari kondisi tersebut
adalah sebuah negara yang kaya dengan sumber daya akan menjadi rebutan dan
wahana persaingan. Begitu pula Papua yang merupakan salah satu pulau yang kaya
sumber daya alam di Indonesia. Dampak dari persaingan adalah meningkatnya
ketidakstabilan keamanan. Untuk itu, kontrol pemerintah sangat penting dalam
menciptakan situasi aman dan kondusif bagi terpeliharanya kemakmuran dan
keamanan rakyatnya. Hal lain penyebab ketidakstabilan di Pulau Papua adalah
ketertinggalan pembangunan jika dibandingkan dengan daerah lain. Ketidakpuasan
masyarakat sering dijawab dengan kebijakan yang kurang memperhatikan
nilai-nilai lokal sehingga sering melahirkan konflik yang berkepanjangan. (www.compasiana.com).
Melalui UU Otsus Papua, pemerintah mendelegasikan
kewenangan yang besar kepada pemerintah daerah disertai kucuran dana yang juga
sangat besar. Dana puluhan triliun rupiah ini di luar dana lain seperti APBD
dan dekonsentrasi. Pemerintah juga baru saja mencanangkan kebijakan khusus
untuk Papua melalui dua peraturan presiden (perpres) yang ditandatangani 20
September 2011. Pertama, Perpres Nomor 65 Tahun 2011 tentang
Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Kedua, Perpres
Nomor 66 Tahun 2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan
Papua Barat. Perpres itu dilengkapi dokumen rinci berjudul Rencana Aksi yang
Bersifat Cepat Terwujud Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi
Papua Barat Tahun 2011-2012. Papua diberikan Otonomi Khusus untuk mengelolah
daerahnya sendiri. Dalam perjalanannya, Otonomi Khusus ini tidak berjalan
sesuai harapan masyarakat asli di sana. Masih banyak penyimpangan bahkan
pelanggaran HAM. Akibatnya tidak ada perkembangan di sana, masyarakat asli tak
pernah menikmati hasil tanah kelahirannya. www.rimanews.com.
Sarana dan Prasarana di Papua belum mencerminkan penggunaan dana
ostus yang tepat sasaran, Orang asli papua belum menerima pelayanan kesehatan
yang maksimal. Walaupun orang asli papua dewasa ini sudah memeperoleh pelayanan
kesehatan gratis di rumah sakit – rumah sakit pemerintah akan tetapi hanya
mencakup penyakit – penyakit ringan saja, Pendidikan gratis tidak dirasakan
oleh semua orang asli papua dan tidak disemua jenjang pendidikan, Otsus hadir
untuk meningkatkan kesejahteraan orang asli papua tapi pada kenyataannya masih
ada orang papua yang belum sejahtera. UU No. 21 Tahun 2001 mengamanatkan
pemberian dana Otonomi Khusus oleh Pemerintah Pusat kepada tiga daerah, yaitu
Provinsi Papua, Papua Barat, dan Nangroe Aceh Darussalam. Tujuan pemberian dana
Otonomi khusus tersebut adalah untuk menyejahterakan dan memajukan rakyat
Papua. Secara khusus, dana Otonomi khusus diperuntukkan bagi pengembangan
pendidikan dan kesehatan rakyat Papua. Sepanjang 2002-2010 Pemerintah Pusat
telah menggelontorkan dana Otonomi khusus kepada Provinsi Papua dan Provinsi
Papua Barat senilai total Rp 28,84 triliun. Sejak otonomi khusus diberlakukan
selama delapan tahun ini, perubahan tidak berjalan dengan optimal. Keberadaan
dana otonomi khusus nampaknya tidak berdampak signifikan terhadap pembangunan
daerah. Sejak 21 November 2001 atau tepatnya sepuluh tahun lalu, pemerintah
pusat mulai menerapkan otonomi khusus Papua, sebagai solusi percepatan
pembangunan di daerah Papua, termasuk mengatasi berbagai keresahan sosial.
Otonomi khusus ini pada awalnya diharapkan dapat menjadi jawaban akan krisis
Papua yang selama ini terjadi. Pada kenyataannya Otonomi Khusus seakan
memperparah dan menambah ketidakpercayaan rakyat Papua terhadap pemerintah
pusat. Namun Otsus yang sudah menghabiskan lebih dari 30 triliun rupiah,
dinilai tidak memiliki target bahkan justru menimbulkan ketidakstabilan di
Papua.
Masih banyak penyimpangan bahkan pelanggaran HAM. Akibatnya tidak
ada perkembangan di sana, masyarakat asli tak pernah menikmati hasil tanah
kelahirannya. Padahal otonomi khusus di sudah berusia satu dekade. Tujuan dari
UU Otonomi Khusus ini merupakan cara untuk mendelegasikan kewenangan yang lebih
besar kepada pemerintahan daerah dengan dukungan dana sangat besar. Orientasi
awalnya adalah peningkatan kesejahteraan, harkat dan martabat masyarakat Papua.
Sumber dana mengucur deras dari dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus
(DAK), dana otonomi khusus serta dana tambahan infrastruktur.
Salah satu alasan utama bagi pemerintah untuk
menerepkan kebijakan tersebut adalah untuk mencapai pemerataan dalam hal
ekonomi. Bila dilihat dai beberapa aspek ekonomi seperti, Papua memang
mengalami ketertinggalan. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Papua menunjukkan
bahwa Provinsi Papua termasuk daerah yang belakang. Pada tahun 1996, IPM
Provinsi Papua sebesar 60,2 dengan peringkat kedua terbawah setelah Nusa
Tenggara Barat dan lebih rendah daripada IPM nasional sebesar 67,7. Namun,
sayangnya kebijakan Otonomi Khusus tidak mengatasi ketertinggalan provinsi
tersebut. Hingga tahun 2009, Provinsi Papua masih berada di posisi bawah. Dari
33 provinsi, Papua malah menempati posisi terakhir dengan IPM sebesar 64,53
(IPM nasional sebesar 71,76) (www.ekonomikompasiana).
Menurut Dunn (2008) ada beberapa langkah atau proses dalam melakukan
analisis kebijakan publik. Dalam hal ini, kebijakan otonomi khusus Papua adalah
ex-post. Kebijakan otonomi khusus adalah kebijakan yang sudah
diterapkan. Oleh karenanya, langkah analisis kebijakan publik yang dilalui
adalah monitoring dan evaluasi. Dalam konteks otonomi khusus, langkah
pertama yang kami lakukan menurut teori Dunn adalah dimulai dari bagian policy
problems. Maksud
dari pemerintah yang kurang transparan disini adalah bahwa pemerintah pusat
kurangbisa mengayomi rakyat Papua dan memberikan penjelasan yang jelas termasuk
dalam alokasi daa APBN untuk Papua. Sehingga yang terjadi adalah yang
mengetahui informasi – informasi tersebut hanyalah segelintir orang, dan
dimanfaaatkan untuk kepentingan mereka sendiri. Pemerintah juga cenderung
menutup-nutupi apa yang sedang terjadi di tanah Papua seperti contohnya
melindungi pihak asing melakukan penanaman saham yang merugikan bagi rakyat
Papua. Pemerintah pusat juga jarang sekali berdialog dengan rakyat Papua,
mereka cenderung.
Dampak crisis dan ketidaksejateraan masyarakat papua, adalah
hilangnya kepercayaan pada pemerintahan, dimana Pemerintah harus berupaya keras
untuk mengubah dua stigma yang kini lekat dengan Papua. Pertama, stigma
sparatisme yang sudah diidentikan dengan masyarakat Papua sejak Orde Baru.
Persoalan ini menyengsarakan rakyat Papua karena selalu berada dalam
ketidakpercayaan (distrust). Setiap
kegiatan kerap dimaknai sebagai upaya memisahkan diri dari NKRI., pihak asing
semakin menananam cengkramannya, diamana Semakin daerah Papua mengalami krisis
dan konflik, maka pihak asing semakin dengan mudah mengadu domba antara rakyat
Papua dan pemerintah. Dengan begitu, pihak asing dengan mudah menanamkan saham
dan ideologi mereka ke rakyat Papua. Ideologi neoliberalisme semakin tertanam
dengan kuat dan mengakar di pemerintah Indonesia. Kasus Freeport merupakan
salah satu contoh pihak asing yang semakin menguatkan sahamnya di dalamnya. Semakin
Melegitimaskan Pelanggaran HAM Berat di Daerah Papua, dimana Aksi
militerisme di daerah Papua semakin membuat pelanggaran HAM semakin marak
terjadi. Pemerintah juga acuh tak acuh dan membiarkan aksi kekerasan Papua
semakin menjadi – jadi.. Hal ini sudah jelas – jelas melanggar HAM dan
KOMNASHAM cenderung tidak bisa menyelesaikan permasalahan seperti ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar