Minggu, 30 Desember 2012

Pro dan Kontra Otonomi Daerah Papua


Faktor-faktor geopolitik akan mempengaruhi suatu negara dalam menyusun sistem keamanannya. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki karakteristik geopolitik yang khas, yaitu membentang luas dan letak geografis yang strategis dari Sabang sampai Merauke. Kondisi tersebut menyebabkan Indonesia membutuhkan kendali yang kuat untuk menjaga keamanan, keutuhan, dan kedaulatan wilayah NKRI, termasuk melindungi wilayah-wilayah kunci seperti Papua sebagai provinsi paling timur. Pulau Papua pun memiliki nilai strategis yang sangat tinggi bagi geopolitik Indonesia akibat faktor geografis dan faktor ketersediaan sumber daya alam yang terkandung di dalamya. Hal tersebut disebabkan posisi strategis Papua yang berbatasan dengan negara-negara yang menjadi kekuatan ekonomi potensial mulai dari Filipina di sebelah utara, yang merembet ke Hong Kong, Taiwan, Jepang, hingga kepulauan Pasifik dan Benua Amerika di sebelah timur dan di selatan berhadapan dengan Timor Leste dan Australia. Selain itu Papua kaya akan keanekaragaman hayati. Tanah yang subur di iklim tropis dan hujan turun di hampir di sepanjang musim merupakan faktor agroklimat yang sangat cocok untuk pengembangan berbagai komoditas tanaman industri, baik kehutanan, hortikultura, maupun untuk tanaman pangan. Kekayaan sumber daya mineral dan energi sudah menjadi pengetahuan umum. Besi, tembaga, emas, batu bara, minyak bumi, sampai gas alam adalah kekayaan alam yang bisa menyokong infrastruktur. Perkembangan dunia menyebabkan semakin tingginya persaingan antarnegara dan institusi dalam memperebutkan sumber-sumber ekonomi bagi kemakmuran. Konsekuensi logis dari kondisi tersebut adalah sebuah negara yang kaya dengan sumber daya akan menjadi rebutan dan wahana persaingan. Begitu pula Papua yang merupakan salah satu pulau yang kaya sumber daya alam di Indonesia. Dampak dari persaingan adalah meningkatnya ketidakstabilan keamanan. Untuk itu, kontrol pemerintah sangat penting dalam menciptakan situasi aman dan kondusif bagi terpeliharanya kemakmuran dan keamanan rakyatnya. Hal lain penyebab ketidakstabilan di Pulau Papua adalah ketertinggalan pembangunan jika dibandingkan dengan daerah lain. Ketidakpuasan masyarakat sering dijawab dengan kebijakan yang kurang memperhatikan nilai-nilai lokal sehingga sering melahirkan konflik yang berkepanjangan. (www.compasiana.com).


Melalui UU Otsus Papua, pemerintah mendelegasikan kewenangan yang besar kepada pemerintah daerah disertai kucuran dana yang juga sangat besar. Dana puluhan triliun rupiah ini di luar dana lain seperti APBD dan dekonsentrasi. Pemerintah juga baru saja mencanangkan kebijakan khusus untuk Papua melalui dua peraturan presiden (perpres) yang ditandatangani 20 September 2011. Pertama, Perpres Nomor 65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Kedua, Perpres Nomor 66 Tahun 2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Perpres itu dilengkapi dokumen rinci berjudul Rencana Aksi yang Bersifat Cepat Terwujud Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat Tahun 2011-2012. Papua diberikan Otonomi Khusus untuk mengelolah daerahnya sendiri. Dalam perjalanannya, Otonomi Khusus ini  tidak berjalan sesuai harapan masyarakat asli di sana. Masih banyak penyimpangan bahkan pelanggaran HAM. Akibatnya tidak ada perkembangan di sana, masyarakat asli tak pernah menikmati hasil tanah kelahirannya. www.rimanews.com.


Sarana dan Prasarana di Papua belum mencerminkan penggunaan dana ostus yang tepat sasaran, Orang asli papua belum menerima pelayanan kesehatan yang maksimal. Walaupun orang asli papua dewasa ini sudah memeperoleh pelayanan kesehatan gratis di rumah sakit – rumah sakit pemerintah akan tetapi hanya mencakup penyakit – penyakit ringan saja, Pendidikan gratis tidak dirasakan oleh semua orang asli papua dan tidak disemua jenjang pendidikan, Otsus hadir untuk meningkatkan kesejahteraan orang asli papua tapi pada kenyataannya masih ada orang papua yang belum sejahtera. UU No. 21 Tahun 2001 mengamanatkan pemberian dana Otonomi Khusus oleh Pemerintah Pusat kepada tiga daerah, yaitu Provinsi Papua, Papua Barat, dan Nangroe Aceh Darussalam. Tujuan pemberian dana Otonomi khusus tersebut adalah untuk menyejahterakan dan memajukan rakyat Papua. Secara khusus, dana Otonomi khusus diperuntukkan bagi pengembangan pendidikan dan kesehatan rakyat Papua. Sepanjang 2002-2010 Pemerintah Pusat telah menggelontorkan dana Otonomi khusus kepada Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat senilai total Rp 28,84 triliun. Sejak otonomi khusus diberlakukan selama delapan tahun ini, perubahan tidak berjalan dengan optimal. Keberadaan dana otonomi khusus nampaknya tidak berdampak signifikan terhadap pembangunan daerah. Sejak 21 November 2001 atau tepatnya sepuluh tahun lalu, pemerintah pusat mulai menerapkan otonomi khusus Papua, sebagai solusi percepatan pembangunan di daerah Papua, termasuk mengatasi berbagai keresahan sosial. Otonomi khusus ini pada awalnya diharapkan dapat menjadi jawaban akan krisis Papua yang selama ini terjadi. Pada kenyataannya Otonomi Khusus seakan memperparah dan menambah ketidakpercayaan rakyat Papua terhadap pemerintah pusat. Namun Otsus yang sudah menghabiskan lebih dari 30 triliun rupiah, dinilai tidak memiliki target bahkan justru menimbulkan ketidakstabilan di Papua.


Masih banyak penyimpangan bahkan pelanggaran HAM. Akibatnya tidak ada perkembangan di sana, masyarakat asli tak pernah menikmati hasil tanah kelahirannya. Padahal otonomi khusus di sudah berusia satu dekade. Tujuan dari UU Otonomi Khusus ini merupakan cara untuk mendelegasikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintahan daerah dengan dukungan dana sangat besar. Orientasi awalnya adalah peningkatan kesejahteraan, harkat dan martabat masyarakat Papua. Sumber dana mengucur deras dari dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dana otonomi khusus serta dana tambahan infrastruktur.


Salah satu alasan utama bagi pemerintah untuk menerepkan kebijakan tersebut adalah untuk mencapai pemerataan dalam hal ekonomi. Bila dilihat dai beberapa aspek ekonomi seperti, Papua memang mengalami ketertinggalan. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Papua menunjukkan bahwa Provinsi Papua termasuk daerah yang belakang. Pada tahun 1996, IPM Provinsi Papua sebesar 60,2 dengan peringkat kedua terbawah setelah Nusa Tenggara Barat dan lebih rendah daripada IPM nasional sebesar 67,7. Namun, sayangnya kebijakan Otonomi Khusus tidak mengatasi ketertinggalan provinsi tersebut. Hingga tahun 2009, Provinsi Papua masih berada di posisi bawah. Dari 33 provinsi, Papua malah menempati posisi terakhir dengan IPM sebesar 64,53 (IPM nasional sebesar 71,76) (www.ekonomikompasiana).


Menurut Dunn (2008) ada beberapa langkah atau proses dalam melakukan analisis kebijakan publik. Dalam hal ini, kebijakan otonomi khusus Papua adalah ex-post. Kebijakan otonomi khusus adalah kebijakan yang sudah diterapkan. Oleh karenanya, langkah analisis kebijakan publik yang dilalui adalah monitoring dan evaluasi. Dalam konteks otonomi khusus, langkah pertama yang kami lakukan menurut teori Dunn adalah dimulai dari bagian policy problems. Maksud dari pemerintah yang kurang transparan disini adalah bahwa pemerintah pusat kurangbisa mengayomi rakyat Papua dan memberikan penjelasan yang jelas termasuk dalam alokasi daa APBN untuk Papua. Sehingga yang terjadi adalah yang mengetahui informasi – informasi tersebut hanyalah segelintir orang, dan dimanfaaatkan untuk kepentingan mereka sendiri. Pemerintah juga cenderung menutup-nutupi apa yang sedang terjadi di tanah Papua seperti contohnya melindungi pihak asing melakukan penanaman saham yang merugikan bagi rakyat Papua. Pemerintah pusat juga jarang sekali berdialog dengan rakyat Papua, mereka cenderung.


Dampak crisis dan ketidaksejateraan masyarakat papua, adalah hilangnya kepercayaan pada pemerintahan, dimana Pemerintah harus berupaya keras untuk mengubah dua stigma yang kini lekat dengan Papua. Pertama, stigma sparatisme yang sudah diidentikan dengan masyarakat Papua sejak Orde Baru. Persoalan ini menyengsarakan rakyat Papua karena selalu berada dalam ketidakpercayaan (distrust). Setiap kegiatan kerap dimaknai sebagai upaya memisahkan diri dari NKRI., pihak asing semakin menananam cengkramannya, diamana Semakin daerah Papua mengalami krisis dan konflik, maka pihak asing semakin dengan mudah mengadu domba antara rakyat Papua dan pemerintah. Dengan begitu, pihak asing dengan mudah menanamkan saham dan ideologi mereka ke rakyat Papua. Ideologi neoliberalisme semakin tertanam dengan kuat dan mengakar di pemerintah Indonesia. Kasus Freeport merupakan salah satu contoh pihak asing yang semakin menguatkan sahamnya di dalamnya. Semakin Melegitimaskan Pelanggaran HAM Berat di Daerah Papua, dimana Aksi militerisme di daerah Papua semakin membuat pelanggaran HAM semakin marak terjadi. Pemerintah juga acuh tak acuh dan membiarkan aksi kekerasan Papua semakin menjadi – jadi.. Hal ini sudah jelas – jelas melanggar HAM dan KOMNASHAM cenderung tidak bisa menyelesaikan permasalahan seperti ini.















Tidak ada komentar:

Posting Komentar